Nabi Muhammad saw pernah memperingatkan kita semua: “Akan datang pada umat manusia tahun-tahun yang penuh kebohongan. Saat itu, pembohong dianggap orang jujur. Orang jujur dianggap pembohong. Pengkhianat dianggap sebagai orang amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Dan yang berbicara kepada masyarakat adalah “al-Ruwaibidhah”. Ada yang bertanya, “Siapa itu al-Ruwaibidhah?” Rasulullah saw menjawab, “Orang bodoh yang memegang urusan masyarakat.” (HR. Hakim)
Apakah zaman yang digambarkan oleh Rasulullah saw itu sudah tiba saat ini? Wallahu A’lam. Yang jelas, kita saat ini telah memasuki satu masa yang dikenal sebagai era post-truth, zaman pasca kebenaran, atau era yang melampaui kebenaran. Tidak ada lagi ’setelah kebenaran’, kecuali kebohongan.
Istilah post truth mulai terkenal setelah Kamus Oxford menempatkan kata ini sebagai kata yang fenomenal pada tahun 2016 (word of the year 2016). Katanya, pada tahun 2016, “Post-truth has gone from being a peripheral term to being a mainstay in political commentary, now often being used by major publications without the need for clarification or definition in their headlines.”
Di era post-truth, atau era kebohongan, sesuatu berita diterima lebih karena faktor emosi, meskipun tanpa didukung fakta yang memadai. Cek dan ricek tak diutamakan lagi. Kebohongan yang direkayasa menjadi — seolah-olah – kebenaran, akan memiliki pengaruh yang kuat dalam diri seseorang, keluarga, atau masyarakat.
Padahal, betapa pun canggihnya, kebohongan pasti akan berujung kepada keburukan dan kerusakan. Rasulullah saw bersabda: ‘Hendaklah kalian selalu jujur. Sebab, kejujuran akan membawa pada kebaikan; dan kebaikan akan mengantarkan ke surga… Jauhilah dusta! Sebab, dusta mengantarkan pada kejahatan; dan kejahatan mengantarkan ke neraka…” (HR Bukhari dan Muslim).
*****
Di era kebohongan saat ini, hampir tidak mungkin mengasingkan seseorang dari segala jenis informasi; baik informasi yang merusak atau yang memperbaiki. Seperti dijelaskan dalam QS al-An’am ayat 112, setan – baik jenis manusia maupun jenis jin – menipu dan menyesatkan manusia dengan menyampaikan informasi yang menarik tetapi merusak.
Setiap insan pasti diuji imannya oleh Allah SWT. “Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengaku-aku beriman, kemudian mereka tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga (tampaklah) siapa yang imannya benar dan siapa yang imannya dusta.” (QS 29:2-3).
Ujian iman yang berat saat ini adalah ujian pemikiran. Informasi yang merusak itu bukan hanya disebarkan melalui koran, internet, televisi, dan media massa lainnya. Tetapi, ada kalanya, informasi yang salah itu juga dikemas dengan indah, lalu disampaikan dengan canggih dan sistematis dalam buku-buku ajar di semua jenjang pendidikan, khususnya di Perguruan Tinggi.
Berbagai teori yang bertentangan dengan ajaran Allah SWT diajarkan kepada para siswa, santri, dan mahasiswa. Kata mereka, yang patut dianggap sebagai hal yang ilmiah adalah yang rasional dan empiris. Sementara al-Quran tidak dianggap sebagai sumber ilmu yang otoritatif. Maka terjadilah kekacauan ilmu (confusion of knowledge), yang berujung pada hilangnya adab dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Karena begitu cepat dan masifnya serbuan informasi yang destruktif kepada seluruh anggota keluarga kita, maka cara yang terbaik adalah dengan membangun pola pikir yang Islami, yang adil dan beradab. Inilah pentingnya setiap muslim memiliki Islamic Worldview, yakni cara pandang yang Islami terhadap realitas (ru’yatul Islam lil-wujuud).
Islamic Worldview akan terbentuk pada diri setiap muslim, jika ia memahami konsep-konsep pokok dalam Islam dengan benar dan tepat. Misalnya, ia memahami konsep Islam tentang Tuhan, kenabian, wahyu, agama, manusia, alam, ilmu, kebenaran, kemuliaan, dan sebagainya. (Lihat, buku Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, (Yogya: Pro-U Media, 2015).
Misalnya, al-Quran mengajarkan, bahwa orang paling mulia dalam pandangan Allah adalah yang bertaqwa. Sekaya apa pun seorang pelacur atau koruptor, sepopuler apa pun pelaku maksiyat, dan setinggi apa pun jabatan orang kafir, fasik dan zalim, derajat mereka tidak lebih tinggi dari seorang guru ngaji yang ikhlas dan soleh di pelosok-pelosok kampung!
Bagi seorang muslim, sekolah dan kampus terbaik adalah yang mendidik para murid dan mahasiswanya menjadi manusia beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan bermanfaat pada sesama. Juga, sekolah atau kampus itu menekankan pentingnya menjadi pejuang penegak kebenaran di tengah masyarakat! Itu kriteria utama. Kriteria-kriteria lain adalah tambahan.
Karena itu, sungguh sangat bermakna pesan KH Imam Zarkasyi, pendiri pesantren Gontor Ponorogo: “Kalian akan kami didik menjadi kader-kader pemimpin dan juga belajar menjadi orang besar. Apa itu orang besar? Apakah mereka yang jadi pengusaha besar? Atau jadi ketua partai; ketua oramas Islam yang besar? Bukan itu yang saya maksud orang besar. Orang besar itu adalah mereka yang lulus dan keluar dari pesantren ini kemudian dengan ikhlas mengajarkan ilmunya kepada orang-orang di pelosok-pelosok desa, sampai di kaki-kaki gunung, di mana pun mereka berada, di bukit-bukit, atau di kolong-kolong jembatan sekali pun. Itu yang saya maksud orang besar!” (https://youtu.be/Nkwpbphn8QY).
Maka, patut kita ingat sekali lagi peringatan Allah SWT: “Dan demikianlah kami jadikan untuk setiap nabi ada musuh, yaitu setan dari jenis manusia dan setan dari jenis jin, yang mereka membisikkan kata-kata indah (zukhrufal qauli) untuk menipu manusia!” (QS 6:112).
Jadi, di era post truth– di mana virus-virus kebohongan sedang mewabah — penjagaan terhadap pikiran kita pun perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika kita harus menjaga tubuh kita agar tidak terinfeksi virus atau bakteri tertentu, maka jiwa atau pikiran kita pun perlu dirawat dan dijaga, agar pikiran kita sehat dan iman kita selamat. Wallahu A’lam bish-shawab. (Surabaya, 25 januari 2020).
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)