Indonesia Itu “Negara Tauhid”, Negara Hebat

Para ulama di negara kita sudah bersepakat, bahwa sila  “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan makna TAUHID dalam ajaran Islam. Berikut ini sejumlah contohnya.

Tokoh NU  KH Achmad Siddiq, dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Departemen Agama, (Jakarta, 1984/1985), menulis:

“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabi’ulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan penting: (1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara PancasilaJalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada  pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.”  (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945).

Negara Maju

Al-Quran menggambarkan “kalimah tauhid” atau “kalimah thayyibah” adalah laknana pohon yang kokoh, yang memberi manfaat luas kepada manusia. Itulah gambaran al-Quran Surat Ibrahim (14) ayat 24-26, yang maknanya: “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah membuat kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizing Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka ingat (mengambil pelajaran). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat (tegak) sedikit pun.”

               Gambaran al-Quran itu memberikan dasar yang tegas, bahwa suatu negara Tauhid adalah NEGARA HEBAT, NEGARA MAJU, NEGARA BAHAGIA. Di negara itu, para pemimpinnya memiliki keyakinan yang kokoh bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah manusia, yang wajib ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Orang Muslim, di mana pun berada, pasti sangat setuju dengan upaya penegakan kalimah Tauhid di muka bumi, dan pasti bersyukur jika ada umat manusia yang bertekad untuk menjadikan Tauhid sebagai asas tegaknya suatu masyarakat.                Lawan dari Tauhid adalah syirik (kemusyrikan). Luqmanul Hakim, tokoh bijak yang diabadikan dalam al-Quran, mengajarkan kepada kita sebuah dasar pendidikan: “Wahai anakku, janganlah menserikatkan Allah dengan yang lain, sebab syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13).               Syirik adalah kezaliman dan sikap yang tidak beradab kepada Allah.  Syirik adalah dosa besar, karena menempatkan Allah – satu-satu-Nya al-Khaliq – sejajar dengan manusia atau mengangkat manusia ke derajat al-Khaliq.  Kita melihat, dalam dunia manusia, Presiden saja diperlakukan secara berbeda dengan rakyat biasa. Jika dia lewat, kita dirusuh minggir. Bahkan, ada Presiden diberi hak untuk mengampuni dosa manusia.                Apalagi, Allah SWT, Sang Pencipta manusia, sepatutnya ditempatkan sebagai al-Khaliq. Karena itu, bisa dipahami, betapa tidak beradabnya manusia yang mengangkat dirinya menjadi “Tuhan”, merasa berhak mengatur dirinya sendiri, mengatur alam semesta, mengatur Negara, dengan akal pikiran dan kemauannya sendiri dengan membuang semua ajaran Allah.                Aneh, jika ada manusia yang menentang ajaran Tuhan, tetapi pada sisi yang lain, dia juga berdoa kepada Tuhan, agar negerinya diberikan rahmat dan diselamatkan dari segala bencana.            Seolah-olah manusia itu merasa berhak mengatur Tuhan. Dialah yang menentukan, aspek mana yang Tuhan boleh campur tangan, dan aspek mana dari kehidupan manusia yang Tuhan tidak boleh terlibat.                Kata dia, dalam soal privat, manusia perlu taat kepada Tuhan. Karena agama adalah urusan pribadi. Tetapi, dalam soal pendidikan, kesenian, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan sebagainya, si manusia  menolak mentah-mentah campur tangan Tuhan.                Karena begitu pentingnya konsep Tauhid, umat Islam yakin bahwa Tauhid  adalah asas tegaknya kehidupan dan peradaban Islam.  Semua orang yang mengaku Muslim, pasti setuju akan tegaknya konsep Tauhid.                Dalam buku saya yang berjudul Pancasila, bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: GIP, 2009), saya menegaskan kembali kesepakatan Bung Hatta dengan sejumlah tokoh Islam, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila adalah Tauhid.

            Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, tahun 1945, akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Bung Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Sebagai seorang Muslim, tentu kita sangat bersyukur, jika para pemimpin kita yang muslim – apalagi sudah banyak yang bergelar HAJI — yakin dan bersepakat untuk menjadikan Tauhid sebagai asas kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa.

 Tetapi, apa pun dan siapa pun pemimpin negara kita, yang lebih penting adalah keyakinan dan perbuatan kita sendiri. Tanpa kerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja tuntas, seindah apa pun kata-kata yang tertulis dalam Konstitusi, tidak akan membawa kebaikan bagi kehidupan masyarakat. Wallahu A’lam bish-shawab! (Kampar, 19 Januari 2020).

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)